jakartans.id – Di pinggir jalan raya Sumedang atau di pasar tradisional Cikurubuk, aroma gorengan panas yang menggoda selalu berasal dari tahu Sumedang—potongan tahu putih yang digoreng garing, disajikan dengan cabe rawit hijau dan sambal kecap manis. Camilan ikonik ini bukan sekadar gorengan; ia adalah simbol identitas kuliner Jawa Barat yang lahir dari tradisi sederhana pada era 1910-an. Menurut data Dinas Pariwisata Jabar 2025, tahu Sumedang menyumbang 15% dari total penjualan kuliner di Sumedang, dengan lebih dari 500 pedagang aktif dan ekspor ke Malaysia serta Singapura mencapai 2 ton per bulan. Di Jakarta, gerai seperti Tahu Sumedang Pak Gendut di Pasar Minggu atau versi frozen di supermarket sering habis dalam hitungan jam, dengan harga Rp15.000–25.000 per 10 buah. Rasa “kriuk” yang khas dan tekstur lembut di dalam membuatnya candu—bahkan bagi yang sedang diet.
Sejarah Tahu Sumedang: Dari Imigran Tionghoa ke Ikon Lokal
Tahu Sumedang pertama kali diciptakan oleh Ong Kino, imigran Tionghoa dari Fujian, pada 1917 di Desa Cikurubuk, Sumedang. Awalnya, ia membuat tahu untuk konsumsi keluarga, tapi karena tekstur empuk dan tahan lama saat digoreng, camilan ini cepat populer di kalangan pekerja tambang batu kapur lokal. Nama “Sumedang” melekat karena daerah ini jadi pusat produksi, meski resep asli dari Tiongkok.
Pada 1950-an, pedagang seperti H. Dodo dan H. Acin mulai menjajakan tahu goreng di pinggir jalan, lengkap dengan sambal cabe rawit yang jadi ciri khas. Kini, merek legendaris seperti Tahu Sumedang Afung (sejak 1930-an) atau Tahu Blek (tahu kosong tanpa isi) tetap bertahan, dengan sertifikasi halal dari MUI dan P-IRT untuk distribusi nasional.
Proses Pembuatan: Rahasia Kriuk dan Lembut
Tahu Sumedang dibedakan dari tahu biasa oleh ukuran kecil (3×3 cm), kepadatan sedang, dan teknik penggorengan. Bahan utama sederhana:
| Bahan | Jumlah (untuk 50 buah) | Fungsi |
|---|---|---|
| Kedelai impor/kualitas | 2 kg | Protein dasar, tekstur padat. |
| Air kapur sirih | 5 liter | Pengental alami, buat tahu kenyal. |
| Cuka/gypsum | 50 ml | Koagulan untuk cetak tahu. |
| Minyak goreng kelapa sawit | 2 liter | Goreng garing tanpa amir. |
Langkah Pembuatan (8–12 jam):
- Rendam & Giling: Kedelai direndam 6 jam, digiling jadi sari kedelai.
- Rebus & Saring: Rebus sari, saring ampas (okara) untuk tahu halus.
- Cetak: Tambah kapur sirih, aduk hingga menggumpal, cetak di kain, tekan 2 jam.
- Potong & Goreng: Potong dadu kecil, goreng 2 tahap (rendah 5 menit, tinggi 2 menit) hingga kuning keemasan.
- Sajikan: Tiriskan, sajikan panas dengan cabe rawit dan sambal kecap.
Tips: Gunakan kedelai Kanada untuk rasa manis alami; goreng pagi hari agar kriuk tahan 4–6 jam.
Variasi Tahu Sumedang
- Tahu Blek: Kosong, paling renyah—favorit anak-anak.
- Tahu Isi: Berisi kol, wortel, atau daging cincang—versi modern.
- Tahu Sumedang Frozen: Vakum, tahan 3 bulan di freezer—populer di e-commerce.
- Fusion: Tahu Sumedang sushi atau tahu Sumedang burger di kafe Bandung (tren 2025).
Manfaat Kesehatan
Tahu Sumedang kaya protein nabati (15 g/100 g), isoflavon untuk kesehatan jantung, dan rendah kalori (~120 kcal/5 buah). Gorengan dengan minyak segar minim trans fat. Namun, batasi 5–10 buah/hari karena minyak; pilih versi kukus untuk diet.
Cara Menikmati Tahu Sumedang
- Authentic: Di Cikurubuk Food Court Sumedang (Rp15.000/porsi), atau Afung di Jl. Mayor Abdurakhman.
- Oleh-Oleh: Beli vakum di Pasar Cikurubuk (Rp50.000/kg), tahan 2 hari.
- Kreatif: Celup sambal rujak atau tabur bawang goreng untuk variasi.
- Pairing: Es teh manis atau kopi hitam untuk netralisir minyak.
Tahu Sumedang adalah camilan sederhana yang kaya cerita—dari dapur imigran hingga meja makan nasional. Di tahun 2025, ketika kuliner instan mendominasi, tahu goreng ini tetap jadi penyelamat lapar dengan rasa autentik. Coba beli di pinggir jalan Sumedang, atau buat sendiri akhir pekan. Tahu Sumedang: Kriuk yang bikin rindu kampung halaman.

