jakartans.id – Di antara kekayaan kuliner Indonesia yang tak terhitung jumlahnya, ada satu sajian ekstrem yang jarang dibicarakan namun punya cerita budaya yang menarik: sate ulat sagu. Hidangan ini berasal dari daerah pedalaman di Papua dan Maluku, di mana komunitas lokal memanfaatkan ulat sagu sebagai sumber protein alternatif. Ulat sagu—larva serangga yang hidup di pohon sagu—dipandang sebagai makanan tradisional yang bernilai tinggi dalam budaya masyarakat setempat.
Proses pengolahan sate ulat sagu dimulai dengan pemanenan dari pohon sagu, lalu ulat dibersihkan dan dibumbui dengan rempah lokal seperti garam, merica, bawang, dan kadang kayu manis. Setelah itu, ulat ditusuk seperti sate dan dibakar di atas arang hingga matang. Saat matang, tekstur ulat sagu menjadi agak garing di luar namun lembut di dalam, dengan aroma khas yang agak seperti kacang panggang bercampur hutan tropis.
Sate ulat sagu bukan hanya soal rasa atau eksotisme. Dalam perspektif nutrisi, ulat sagu kaya akan protein, lemak sehat, dan asam amino esensial. Di wilayah yang terbatas akses pangan konvensional, ulat sagu menjadi sumber makanan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap lingkungan. Keberadaannya turut mencerminkan kearifan lokal masyarakat dalam menjaga keseimbangan alam dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Namun, tantangan untuk mengenalkan sate ulat sagu ke masyarakat luas cukup besar. Rasa takut atau jijik dari sebagian orang menjadi hambatan terbesar. Selain itu, aspek kebersihan dan keamanan pangan harus diperhatikan dengan ketat agar konsumsi ulat tidak membawa risiko kesehatan. Promosi melalui edukasi, penelitian gastronomi, serta adaptasi penyajian yang estetis dapat membantu mengurangi stigma terkait makanan ekstrem ini.